Menanggapi Kasus Makam Mbah Priuk

Oleh: H. Salahuddin Wahid

MENGAPA bentrok Satpol PP dan massa di makam Mbah Priuk bisa terjadi? Siapa yang harus bertanggungjawab? Mengapa tindakan brutal Satpol PP di Pasar Koja yang tidak jauh letaknya dari makam tersebut dan juga di tempat lain, tidak memicu bentrok yang sama hebatnya? Mengapa tidak ada perhatian yang sama besarnya dari masyarakat dan pemerintah terhadap tindakan brutal Satpol PP pada peristiwa lain?
Untuk membenarkan tindakan Satpol PP itu, beberapa pejabat Pemerintah DKI menyatakan bahwa jenazah Mbah Priuk sudah tidak ada di pemakaman tersebut, tetapi sudah dipindahkan bersama ribuan jenazah lain ke pemakaman baru. Tetapi di layar TV tampak ada gambar sejumlah makam di daerah tersebut.
Mengapa bisa muncul dua fakta yang bertentangan? Mana yang benar?
Dalam dialog sehari setelah bentrok, ada kesimpulan bahwa makam akan tetap dipertahankan. Berarti fakta pertama di atas diakui salah. Mengapa fakta yang salah itu bisa dilontarkan oleh pejabat Pemda?
Kepala Satpol PP DKI Harianto Badjoeri menyatakan bahwa sejak 2006 sudah banyak kali dilakukan pendekatan oleh pihak Satpol PP terhadap ahli waris, para habaib, FPI, FBR, dan lain-lain untuk memberi penjelasan bahwa makam Mbah Priuk dan sekitar belasan lainnya tidak akan digusur atau dipindah, hanya akan dipugar. Yang akan diubah hanya jalan masuk supaya kesterilan terminal peti kemas dapat dijaga.
Badjoeri menyatakan, saat 2.000 anggota Satpol PP apel, menurut intel Kodim Jakarta Utara situasi di sekitar makam mendukung dilakukannya operasi Satpol itu, yang tujuannya adalah untuk menegakkan peraturan daerah dan menertibkan pelanggaran. Menurut Badjoeri, warga-lah yang menyerang terlebih dulu. Karena anggota Satpol membela diri, maka kekerasan tidak dapat dihindari.
Kalau seperti itu kondisinya, memang sulit dihindari terjadinya bentrok. Masalahnya, mengapa dalam program perbaikan dan pemugaran makam harus menggunakan aparat Satpol PP yang menurut pengalaman memang selalu menggunakan kekerasan? Apakah penertiban harus selalu menggunakan pemaksaan? Mengapa tidak dimasukkan dalam kegiatan dinas lain? Mungkin perlu pengkajian terhadap paradigma yang digunakan Pemda DKI dalam menyelesaikan masalah, dari yang bersifat pemaksaan menjadi dialogis.
Apakah gubernur melakukan sendiri dialog dengan sejumlah pihak terkait seperti yang dilakukan sehari setelah dialog? Kalau tidak, mengapa? Kan dalam dialog itu bisa ditanyakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemda DKI dalam upaya pemugaran makam itu? Kalau iya, ternyata warga DKI tidak percaya kepada pernyataan gubernur. Ironis.
Siapa yang harus bertanggungjawab?
Menurut saya ada sejumlah kesalahan Gubernur DKI. Pertama, memakai pendekatan yang dia tahu berpotensi kekerasan yaitu melalui Satpol PP. Kedua, tidak melakukan komunikasi langsung bertemu dengan stakeholder makam Mbah Priuk. Maka yang seharusnya bertanggungjawab bukan saja Kepala Satpol PP, tetapi juga Gubernur DKI.
Walikota Jakarta Utara menyatakan siap diberhentikan. Perlu dikaji apakah betul dia harus memikul tanggung jawab. Apakah tanggung jawab itu, siapapun yang bertanggungjawab, harus dalam bentuk pengunduran diri? Perlu dilakukan investigasi yang cermat dan mendalam terhadap kasus itu untuk bisa menjawabnya. Juga untuk menentukan siapa yang harus bertanggungjawab.
Mengapa ratusan warga bersedia menempuh risiko bentrok dengan Satpol PP untuk membela makam Mbah Priuk, tetapi tidak banyak yang bersedia untuk bentrok dengan Satpol PP saat mereka membongkar kios di Pasar Koja atau pasar yang lain? Apakah nasib orang yang sudah wafat lebih penting daripada nasib orang yang masih hidup?
Kita saksikan di TV ratusan warga itu bersedia mengorbankan dirinya bentrok dengan Satpol PP yang jumlahnya jauh lebih besar, karena makam itu bukan makam orang sembarangan, tetapi makam wali yang amat dihormati. Bagi banyak orang, terdapat ikatan emosi yang kuat antara warga dengan tokoh yang dianggap sebagai wali. Karena itu mereka mau berjuang mempertahankan keberadaan makam itu. Sedang untuk membela pasar, yang bersedia hanyalah si pedagang sendiri dan keluarganya.
Dukungan moral dari masyarakat luas terhadap pembela keberadaan makam Mbah Priuk juga jauh lebih besar daripada pembelaan terhadap nasib pedagang yang digusur. Kita lihat banyak tokoh ormas Islam langsung melibatkan diri, paling tidak memberi pernyataan dukungan. Sedang tokoh ormas Islam yang membela para pedagang yang tergusur, tidak ada.
Menurut saya, keduanya harus mendapat pembelaan yang sama dari warga atau ormas Islam. Makam itu selain mengandung nilai keagamaan, juga merupakan situs sejarah yang amat penting, yang merupakan bagian dari jati diri kita. Ratusan pedagang yang akan digusur itu adalah warga negara yang mempertahankan hak ekonominya yang dilanggar oleh pemerintah daerah yang sebenarnya justru harus melindungi hak para pedagang itu.(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)
http://www.pelita.or.id